Foto saya
Mama dua anak, istri dari satu suami. Kini menjalani aktivitas sebagai konselor menyusui, doula persalinan, tukang motret, dan supir pribadinya anak-anak. Rumah ini berisi catatan randomnya, dalam belajar hidup sebagai manusia.

Senin, 26 Agustus 2013

Bahagia Tanpa Syarat


 
Yogyakarta, pertengahan tahun 2007


Saat itu, saya, Irwan, dan Vel dalam perjalanan pulang mudik dari Yogyakarta ke Jakarta. Vel sedang lelap tertidur dalam pangkuan, sedangkan Irwan mulai terkantuk-kantuk menunggu pesawat lepas landas. Kami tak saling bertegur sapa. Saya sedang kesal padanya. Entahlah, tanpa saya ketahui kenapa, saat itu saya merasa semuanya seperti serba salah.


Setelah berdoa memohon keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan, saya mengencangkan seat belt; milik Vel, dan milik saya sendiri. Dalam kantong kursi di hadapan, tersedia majalah perjalanan, brosur penawaran souvenir maskapai dan petunjuk keselamatan penerbangan. Saya ingin sekali rasanya membaca majalah perjalanan. Tapi dengan kerepotan memangku Vel yang tubuhnya tak bisa dibilang ringan lagi, akhirnya saya memilih untuk melihat ke luar pesawat melalui jendela sambil menunggu pesawat take off.


Tak sampai sepuluh menit, terdengar suara pramugari mengumumkan bahwa pesawat akan segera bertolak ke Jakarta. 


Seperti biasanya, dua orang pramugari berdiri di bagian depan dan tengah pesawat, memperagakan petunjuk keselamatan penerbangan. Penjelasan mereka hanya saya dengarkan sepintas lalu, sambil memandang ke luar jendela.


“Ketika tekanan dalam kabin pesawat menurun, orangtua harus mengenakan masker oksigen sebelum memakaikan masker pada anaknya”.

Sungguh, ini bukan kalimat yang pertama kali pernah saya dengar. Bahkan penjelasan yang lebih detilnya sudah bolak-balik saya lihat gambarnya dalam buku petunjuk. Namun entah mengapa, baru kali ini tiba-tiba kalimat si Mbak pramugari itu membuat saya tercenung.


Kalimat tentang masker oksigen itu saya ulangi beberapa kali dalam hati, sambil mencoba untuk mencerna, “Orangtua harus mengenakan masker oksigen sebelum memakaikan masker pada anaknya”. 


Saya bertanya-tanya, mengapa harus orangtua dulu yang memakai maskernya? 
Bukankah anak lebih penting?

Namun, saya tak kunjung mendapatkan jawaban. Entah karena masih terpengaruh rasa kesal, tubuh yang lelah atau justru otak saya yang memang sedang lumpuh dalam berpikir :( 


Akhirnya, saya putuskan saja untuk menyenggol lengan Irwan, “Sssstt… Pa, kenapa sih masker oksigen justru harus orangtuanya dulu yang pakai? Apa nggak kebalik tuh, aturannya?”

“Kebalik gimana sih..” Irwan menjawab malas-malasan. Sudah mulai tertidur rupanya.


“Yaaa, kok bukannya menolong anaknya dulu, baru menolong dirinya sendiri. Lha kalau yang pakai masker orangtuanya dulu, nanti kalau anaknya keburu nggak tertolong gimana?”


Mungkin karena melihat saya sedang antusias, Irwan menarik napas. Ia lalu menyerongkan tubuhnya, dan menjawab: 


“Gini deh Ma. Logikanya sih... Orangtua kudu menyelamatkan dirinya sendiri dulu supaya bisa menolong anaknya. Dalam kondisi yang sudah memakai masker (baca : dalam keadaan baik-baik saja), niscaya orangtua bisa menyelamatkan anaknya, kalau-kalau dalam hitungan sepersekian detik setelahnya terjadi apa-apa.

Nah sekarang coba kita bayangkan hal sebaliknya. Ketika kita mencoba menyelamatkan anak - sementara kondisi kita sendiri nggak pakai masker- belum tentu kita dan anak kita selamat. 


Siapa tahu, belum sempat memakaikan masker, keburu terjadi apa-apa. Masker untuk anak belum sempat terpasang, sementara kita sudah keburu kehabisan oksigen. 

Lagipula, kalaupun anak sudah memakai oksigen, dia belum bisa menolong dirinya sendiri dan orangtuanya seandainya memerlukan tindakan lanjutan. Nah, malah bisa korban dua-duanya, kan?”.

Mendengar penjelasan Irwan, dahi saya mengernyit. Irwan melirik reaksi saya sekilas, lalu berkata lagi, “Gini aja deh Ma.. bukankah kita baru bisa melakukan sesuatu untuk orang lain saat kita sendiri merasa dalam keadaan baik? Coba kalau kita lagi kesal, boro-boro bikin orang lain tertawa, bikin diri sendiri tersenyum aja susah banget kan?”


Ups. Irwan menyindir saya. 


Meskipun... ucapannya memang benar. 

Mulut saya terbungkam, bisu. Meskipun begitu, otak saya terus memaksa untuk bermain logika. Pertanyaan demi pertanyaan baru meletup-letup di kepala. Serupa gelembung balon, mereka menggelembung semakin besar, mengambang di udara, dan meletup. Plup!

Itu tadi untuk urusan tertawa. Bagaimana dengan urusan bahagia? 


Bahagia menjadi kata idaman saya sejak berkeluarga. 
Lalu, sudah menjadi ibu yang bahagiakah saya saat ini?

Mungkinkah saya membahagiakan suami dan Vel, jika saya sendiri belum merasa bahagia? 

...



Saya sering merasa sebal, kesal, jengkel hanya gara-gara hal-hal yang terjadi sehari-hari. Mulai dari pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung habis, Si Mbak yang salah mengartikan instruksi tugas, Vel yang sedang suka menarik dan membuang barang ke lantai, suami yang hobi meletakkan barang sembarangan… 


Ah.. Buat saya yang perfeksionis ini, hal-hal tadi lebih mantap saat saya bereskan sendiri. Namun sayangnya, kerepotan tadi justru berefek lebih parah. Saya makin bete karena lelah, dan ujung-ujungnya: merasa tak punya waktu untuk diri sendiri.

Yup, waktu untuk diri sendiri. Mungkin ini kuncinya. 


Seringkali, dengan sikap perfeksionis itu, saya sering “memaksakan diri” melakukan semua hal secara sempurna. Yah, dengan idealisme seorang ibu baru, saya memang berusaha sekuat tenaga mengasuh dan mendidik Vel dengan tangan saya sendiri. 

Saya juga terobsesi oleh almarhum Mama yang saya pandang begitu hebat melayani papa dan mengurus rumah tangga. Saya ingin memperhatikan setiap detil kebutuhan keluarga, suami dan malaikat kecil saya. 

Rupanya itulah letak kesalahannya. 


Saya lupa, saya juga manusia yang butuh ruang untuk diri sendiri, sekedar untuk menarik nafas dan menikmati apa saja yang telah saya peroleh setiap hari.


Saya sudah lupa kapan terakhir kali menikmati gosokan scrub, suatu hal yang menjadi ritual setiap akhir minggu saat masih lajang dulu. 


Saya sudah lupa kapan bisa menikmati kopi di pagi hari tanpa berpikir sebentar lagi Vel bangun. 

Saya sudah lupa kapan terakhir kali berjalan-jalan ke toko buku sendirian tanpa cemas memikirkan Vel meski ia di rumah bersama suami. 

Saya juga sudah lupa kapan terakhir kali bertemu dengan teman-teman lama, sekedar hang out ataupun ngumpul bersama, karena berpikir ini sudah “bukan waktunya lagi”. 

Saya lupa, bahwa diri saya sendiri juga butuh perhatian.

:(

Ya, rasanya itulah sebab saya sering merasa ada rongga-rongga jiwa yang kosong. Rasanya, karena itu juga saya jadi mudah kesal, mudah bete, bahkan mudah marah pada suami dan Vel, hanya gara-gara hal kecil. 


Masih lekat dalam ingatan ketika saya berteriak dan mencubit tangan mungil Vel, hanya karena ia meremas roti dan menggosokkan remahannya ke lantai. 

Masih ingat pula bagaimana saya membentak Vel, hanya karena ia melepeh makanan yang saya suapkan. 

Masih banyak yang bisa saya ingat, hal-hal yang sebenarnya tak perlu terjadi - manakala saya bisa berdamai dengan emosi dan menguasai diri.

...

Pandangan saya masih mengarah ke luar jendela ketika menyadari pesawat akan mendarat sebentar lagi. 


Mata Vel berkedip-kedip bangun. 
Saya menatapnya penuh kasih. 

Sepenuh tekad baru untuk merevisi cara membuat orang-orang tercinta saya menjadi bahagia. 

Ternyata membahagiakan orang lain bukanlah dengan cara mengurusi setiap hal kecil “sesempurna mungkin”, hingga tanpa sadar “mengorbankan” diri sendiri. Namun, dengan memperlakukan setiap hal secara bijaksana, sesuai kemampuan, dan porsinya masing-masing. Ada waktunya, ketika menemukan beberapa hal tak sesuai dengan isi kepala, ya dinikmati sajalah...

Lagipula kalau dipikir-pikir lagi, “kerepotan” semacam itu justru akan menjadi kenangan terindah yang paling saya rindukan, kelak ketika Vel beranjak dewasa. Ketika ia meninggalkan rumah bersama suaminya. Juga, ketika rumah menjadi bersih, tanpa ada setitik pun noda sisa ia makan coklat atau bermain tanah liat.


Belajar dari pengalaman tersebut, saya resmi mengambil sebuah keputusan besar dalam hidup:


Tidak berusaha menjadi sempurna.
Namun mengupayakan yang terbaik, lalu MEMILIH UNTUK BERBAHAGIA. 
Apapun kondisinya :)